top of page

Motivasi Kerja (3) Ikigai (Passion, Mission, Vocation, Profession)

Ada contoh yang bagus nih ketika seseorang sadar atau tidak menemukan dan menjalani ikigai nya maka ia bisa juga mendapatkan keberhasilan secara finansial di usia yang sangat muda (22 tahun) Awalnya ia memulai bisnis nya ketika masih dibangku sma dan menjual sesuatu yang memang dia suka (You love it) dan ternyata usahanya membuahkan hasil yang manis dimana ia berhasil meraup keuntungan sebesar (You are paid for it) USD50 ribu per bulan, dan kemudian terus naik sampai akhirnya ia bisa menjual lebih dari 100 ribu topi (coba itung aja tuh berapa untungnya) Untuk meningkatkan skill nya (you are great at it) dia pun melanjutkan pendidikannya di perguruan tinggi, disini ia menemukan bahwa universitas membantu meningkatkan skill dan juga memperluas jaringannya, Dan ini lah yang kemudian membuat bisnis ia berikutnya menjadi lebih sukses lagi , berhasil merekrut karyawan (The world needs it) bahkan sekarang perusahaannya memiliki client besar seperti Walmart, NBC, dan Microsoft. Pelajaran yang gw ambil dari kisah hidupnya adalah, mulailah membangun bisnis berdasarkan ikigai kita secepat mungkin sehingga 10.000 jam dibidang yang ingin kita tekuni bisa tercapai lebih cepat, lalu bangun jaringan, pertemanan dan juga dekati lah orang orang yang memang bisa membantu kita mewujudkan impian kita sebanyak mungkin.

Berikut artikel lengkapnya yang gw ambil dari line today :

Motivasi Kerja

CALIFORNIA - Usia Jesse Leimgruber masih 22 tahun. Namun, kiprahnya di industri digital dan teknologi tak bisa diragukan lagi. Saat ini, dia menjabat sebagai CEO NeoReach, sebuah platform yang menyediakan software bagi kampanye pemasaran perusahaan-perusahaan besar, seperti Walmart, NBC, dan Microsoft. Leimgruber menceritakan, awalnya dia hanya punya modal USD100 untuk memulai bisnis 'RageHat's ketika masih SMA. Dia menjual topi, dan setelah enam bulan berhasil mendapatkan USD50 ribu per bulan. Sedangkan dalam setahun usahanya itu berhasil menjual lebih dari 100 ribu topi. Cowok yang kini menjadi mahasiswa Stanford University itu mengaku semakin mudah menjalankan bisnis ketika sudah kuliah. Menurut dia, saat kuliah dia mendapat ide mengenai bagaimana sebuah software secara otomatis dapat membantu mempengaruhi pemasaran. "Saya mulai merekrut tim untuk membantu menjalankan bisnis ini. Saya juga belajar bagaimana memanajerial mereka supaya menjadi lebih baik dan fokus menghasilkan yang terbaik," tuturnya dinukil dari USA Today, Jumat (19/5/2017). Setelah sukses menjalani bisnis tersbut, Leimgruber merasa banyak tantangan yang akan dihadapinya. Apalagi, dunia pemasaran kini semakin cepat. Selama merintis bisnis, Leimgruber merasa kekuatan jaringan sangat berpengaruh pada kesuksesannya. Dia juga mengatakan, saat ini semakin banyak startup yang sukses dikembangkan di perguruan tinggi. "Seorang pelajar yang mendirikan bisnis punya banyak keuntungan dibandingkan mereka yang sudah menjadi profesional. Namun, pelajar butuh bantuan untuk mengatur segala hal tentang pemasaran. Untuk itu, hubungi jaringan alumni yang relevan untuk membantu. Jangan takut untuk memperkenalkan diri dan bertanya kepada mereka," pesannya

Sebagai penutup serial tulisan tentang ikigai ada fakta menarik (artikel berbahasa inggris) dari orang -orang yang menemukan dan tidak menemukan ikigai mereka dihidup mereka :

 

"Only the good die young." While this may have been true in the adolescent fantasies of Billy Joel, it does not square with the results of a recently-published study by Toshimasa Sone and colleagues at Tohoku University Graduate School of Medicine in Sendai, Japan. In a seven-year longitudinal study of 43,000+ Japanese adults, these researchers found that individuals who believed that their life was worth living were less likely to die than were their counterparts without this belief. On focus in this study was the Japanese notion of ikigai, translated by the researchers as believing that one's life is worth living. In Japan, ikigai is apparently a common term for what English speakers might term subjective well-being, and it includes purpose and meaning, with connotations of joy about being alive. So, one's hobby might provide ikigai, or one's family, or one's work. To my thoroughly monolingual (i.e., American) ear, ikigai sounds like it is created by what positive psychologists call a healthy passion (Vallerand, 2008).

Motivasi Kerja

​The notion of ikigai is a good reminder to positive psychologists in the United States that our science should not simply be an export business. There are lessons to be learned in all cultures about what makes life worth living, and no language has a monopoly on the vocabulary for describing the good life. In any event, the study began in late 1994 with a survey of tens of thousands of Japanese adults between the ages of 40 and 79. Among many questions posed to respondents was one about ikigai: "Do you have ikigai in your life?" Possible answers were yes, uncertain, and no. The vast majority of respondents were followed for the next seven years. About 7% died during this time, and the cause of death for these individuals was determined by reviewing and coding death certificates.

The researchers took into account such well-known risk factors for mortality as age, gender, education, body mass index, cigarette use, alcohol consumption, exercise, employment, perceived stress, and history of disease. Also controlled was the respondent's self-rated health (bad, fair, good), itself a predictor of subsequent physical well-being (Levy, Slade, Kunkel, & Kasl, 2002). Almost 60% of the research participants reported a sense of ikigai in 1994, and those who did were more likely to be married, educated, and employed. They reported lower levels of stress and better self-rated health. Even when likely "confounds" were taken into account, ikigai predicted who was still alive after seven years. Said another way, 95% of respondents who reported a sense of meaning in their lives were alive seven years after the initial survey versus about 83% of those who reported no sense of meaning in their lives. The lack of ikigai was in particular associated with death due to cardiovascular disease (usually stroke), but not death due to cancer. This latter finding is interesting because cancer has long been regarded, at least in the Western world, as a disease of despair (cf. Hippocrates). The exact mechanisms--biological, psychological, or social--linking ikigai to mortality are at present unknown, but these results are worth taking seriously. Ikigai does not guarantee longevity, and its absence does not preclude it. Nonetheless, the findings reported by Sone and colleagues are not just statistically significant; they are also substantively significant.

Villa di Bogor

The Fussion Guest House

Murah, Nyaman, Free Wifi, Free parking, Kapasitas untuk 10 Orang,

Harga Week day Rp.1.112.000,

Telp/WA 081398473165

 Read Other Posts

bottom of page